What Should I
Do?
By: Khanza
Maharani Putri
Namaku
Gita, aku memiliki dua sahabat yang sangat amat baik kepadaku. Mereka selalu
ada disaat aku senang maupun susah. Mereka selalu mewarnai kehidupanku dengan
penuh canda dan tawa. Mereka adalah Taskya dan Zen, aku biasa memangil Taskya
dengan sebutan Kia. Kia adalah orang yang sangat pengertian, penyabar, lembut,
dan dia super duper cantik. Sedangkan Zen, kata orang orang sih dia sangat cuek,
iya mungkin kalau kamu baru mengenalnya dia memang agak cuek, tapi sebenarnya
dia itu sangat perhatian. Aku mengenal mereka sejak kecil.
Hari
ini kami berangkat sekolah bersama. Kami bersepeda bersama menuju sekolah,
jarak rumah kami ke sekolah lumayan dekat. Sesampainya disekolah kami berpisah
menuju kelas masing masing. Bel istirahatpun berbunyi, Kia dan Zen sudah
menungguku diluar kelas untuk pergi ke kantin bersama. Hari ini kantin tampak
sepi, sebagian besar siswa lebih memilih berada dikelas ketika jam istirahat
untuk belajar karena saat ini sedang ujian kenaikan kelas. Ujian berakhir dan
kamipun pulang, di perjalanan pulang rantai sepedaku lepas. Zen dengan cepat mengayuh
sepedanya menuju ke arahku. Dia langsung membenahi rantai sepedaku yang lepas
itu. Dengan tangan yang penuh dengan oli dia menyelesaikannya dengan cepat.
Akhirnya kami menyelesaikan perjalanan pulang kami.
Ujian
berakhir, liburpun tiba. Kami sudah merencanakan agenda liburan kami jauh jauh
hari. Liburan kali ini kami bertiga akan berlibur ke Bali. Aku dan kedua
sahabatku sudah merencanakan kemana saja kita akan pergi selama di Bali. Semua
barang sudah terpacking rapi dikoperku. Tidak lama kemudian ibuku mengetuk
pintu kamarku dan akupun membukanya. Air mata ibuku tiba tiba mengalir
dipipinya sangat deras dan dengan suara gemetar ibu memberitahku bahwa ayahku
kecelakaan sore ini. Aku hanya terdiam, aku takut jika terjadi sesuatu yang
tidak diinginkan terjadi pada ayahku. Aku dan ibuku segera berangkat ke Rumah
Sakit dimana ayahku dirawat. Zen dan Kia menyusulku ke Rumah Sakit. Dokter yang
berada dikamar ayahku akhirnya keluar dan memberitahu kami bahwa ayahku sudah
tidak bisa diselamatkan lagi. Aku sangat lemas, pikiran kacau tidak karuan,
tangiskupun pecah. Aku tidak tahu harus berbuat apalagi. Kia dan Zen langsung
menghampiriku dan memelukku. Aku menggenggam tangan ibuku dengan sangat erat.
***
Beberapa
hari setelah kematian ayahku aku hanya terdiam dirumah. Rasanya masih tidak
kuat untuk beraktivitas. Kia dan Zen selalu menemaniku, menghiburku sampai aku
bangkit dari keterpurukanku itu. Apalagi Zen sangat perhatian sekali denganku.
Zen tidak pernah absen untuk menemaniku. Setiap harinya dia selalu datang
kerumahku membawakan susu kesukaanku. Dia selalu membuatku ketawa. Setiap kali
aku ingat ayahku Zen tahu dan dia selalu melakukan sesuatu hingga aku lupa
kalau aku sedang memikirkan ayahku. Zen juga sangat dekat dengan ibuku bahkan
dia juga memberi semangat ibuku. Malam ini Zen mengajakku untuk makan diluar.
Disebuah kedai dekat rumah. Aku dan Zen bercerita banyak hal tentang persahabat
kita, bahkan kejadian kecilpun kita bicarakan. Sampai sampai kami lupa waktu
untuk pulang dan aku lupa akan kesedihanku. Zen benar benar menghiburku malam
ini.
Semenjak
itu aku dan Zen semakin akrab, dia selalu ada untukku setiap kali aku
membutuhkannya. Setiap kali aku bertemu dengannya, aku merasakan hal yang berbeda,
rasanya tidak seperti biasanya aku
bertemu dengannya. Aku takut, ini
terlalu nyaman untukku. Bagaimana dengan Kia, aku takut dia membeciku karena
akhir akhir ini aku lebih dekat dengan Zen daripada dengannya. Aku tak tahu
perasaan apa yang aku rasakan sekarang. Perasaan yang begitu aneh yang aku
rasakan saat ini. Bagaimana jika aku jatuh cinta denga sahabatku sendiri. Bagaimana
jika persahabatan kami kacau, hancur. Bagaimana jika itu terjadi. Aku sangat
takut. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku bingung. Sangat bingung.
Sore ini Taskya datang
kerumahku untuk mengajakku jalan jalan.
Dia mengajakku disuatu Mall yang ada di Jogja. Setelah jalan kesana kemari apa
yang dicari Taskya pun akhirnya ketemu. Dia mencari jam tangan cowok entah
untuk siapa. Aku baru mengingatnya besok adalah hari ulang tahun Zen. Dan aku
baru ingat dia mengundangku di pesta ulang tahun yang ke tujuh belasnya besok
malam. Aku berpikir sejenak. Kenapa Kia tidak mengingatkanku kalau besok ulang
tahunnya Zen dan kenapa dia tidak bilang kepadaku kalau dia sedang mencari kado
untuk Zen. Aku hanya terdiam. Setelah itu Kia mengajakku untuk makan di salah
satu kedai dekat Mall tersebut. Dia bercerita tentang Zen panjang lebar. Ternyata
dia mengetahui banyak hal tentang Zen daripada aku. Aku sedikit cemburu. Aku
merasa kalau Kia juga menyukai Zen.
***
Jantungku
berdebar kencang. Aku sudah tak sabar ingin segera datang ke pesta ulang tahun
Zen. Sedari tadi aku hanya menatap isi lemariku. Aku belum menemukan gaun yang
sekiranya pantas untuk aku kenakan di pesta ulang tahun Zen. Tiba tiba ibuku
datang dan aku sangat terkejut ternyata ibuku membawakanku sebuah gaun yang
sangat cantik. Aku langsung mengenakannya. Tak lupa ibuku juga merias wajahku
dengan cantik. Tak lama kemudian Kia datang menjemputku. Aku turun dari kamarku
dan menemuinya. Lalu aku berpamitan dengan ibuku. Aku berangkat dengan mobil minicooper
milik Kia. Tiga puluh menit berlalu. Kamipun sampai dipesta ulang tahu Zen ternyata kami sudah terlambat acaranya
sudah belangsung sangat meriah. Aku khawatir kami telah melewatkan acara potong
kue. Namun ternyata Zen masih menunggu kedatanganku dan Kia untuk memotong
kuenya. Acara potong kue pun telah dimulai. Potongan kue pertamanya diberikan untuk
orangtuanya. Aku kecewa tadinya aku berharap kue pertama akan diberikan untukku
namun ternyata tidak. Zen tiba tiba mendatangiku dan meberikan potongan kue
keduanya untukku. Aku sangat terkejut. Tidak menyangka kalau potongan kue
keduanya untukku. Zen menatapku sambil tersenyum manis. Kia yang berada
disebelahku menatap iri kue yang diberikan kepadaku. Aku melihat matanya
berkaca kaca lalu ia berlari meninggalkan pesta. Aku menatapnya bingung. Apakah
ada yang salah denganku. Sementara Zen sibuk mengobrol dengan temannya yang
lain. Sepertinya ia tidak melihat Kia berlari pergi.
***
Aku
berpapasan dengan Kia di gerbang sekolah. Dia tidak menyapaku. Hanya melewatiku
begitu saja. Akhir akhir ini dia berubah
seratus delapan puluh derajat. Dia benar benar mengacuhkanku semenjak pesta
ulang tahun Zen waktu itu. Bel berbunyi istarahtpun tiba, aku menghampiri Kia
ke kelasnya. Aku mengajaknya untuk ke kantin bersama tapi ia menolak ajakanku.
Ia bilang ia membawa bekal. Zen juga menyusul ke kelas Kia. Kia malah pergi.
Ada appa dengannya. Apakah dia benar benar cembur dengan kedekatanku dan Zen.
Tapi kenapa dia tidak mengatakan saja kepadaku.
Hari
beganti hari Kia semakin menjauh denganku dan Zen. Dia tidak pernah menyapaku
lagi seperti hari hari biasanya. Dia hanya mendiamkanku dan Zen. Bahkan saat
aku mengajaknya jalan, nonton, makan bersama dia selalu menolak ajakanku. Apa
dia benar benar marah denganku. Apa dia benar benar sakit hati. Hari ini aku berencena
untuk meminta maaf kepada Kia. Aku datang kerumahnya. Akhirnya diapun mau
membukakan pintunya untukku. Aku mencoba untuk mengobrol dengannya namuan ia
tidak merespon perkataanku. Aku berusaha sekuat mungkin agar Kia mau berbicara
denganku. Akhirnyaa dia angkat bicara. Aku meminta maaf kepadanya aku
menceritakan apa yang sudah terjadi dan aku menjelaskannya. Kiapun mulai
mengerti dan mau memaafkanku.
***
Semua
berjalan dengan normal seperti biasa. Kamipun sering nongkrong bersama kembali.
Kami juga sering bercerita kembali tentang banyak hal. Hal hal yang sudah kita
lalui bersama. Diam diam saat kita berkumpul Zen sering curi curi pandang
terhadapku. Akupun tersipu malu. Disisi lain aku tidak merasa enak dengan Kia.
Zen memang baik kepada kami berdua. Tapi semakin aku mengenalnya aku semakin
merasa nyaman ketika aku berada di sampingnya. Entah dia merasakan hal yang
sama sepertiku atau tidak.
Zen
mengajakku untuk pergi ke taman sore ini. Aku tidak tahu apa yang akan Zen
lakukan terhadapku nanti. Suara klakson motor terdengar diluar rumah. Itu
pertanda Zen sudah datang dirumahku. Aku langsung menemuinya lalu kamipun berangkat
ke taman. Kami duduk dikursi dekat air mancur yang ada ditaman. Kami hanya
diam. Tiba tiba Zen menatapku. Aku sangat tersipu bahkan aku tak berani
menatapnya balik. Zen mulai berbicara. Aku tak menyangka Zen menembakku. Aku
diam. Hati dan pikiranku terus berlomba, apa yg harus ku menangkan? Aku berhak
memenangkan cintaku, tapi merasa berdosa bila aku mengorbankan persahabatan
ini. Waktu terus berlalu, aku tetap diam. Dan berharap perasaanku pada Zen juga
begitu.
Daftar link saya :
Daftar link saya :

0 komentar:
Posting Komentar